Curhat Pasien Corona yang Sembuh : Penyakitnya Tak Terasa, Fitnahnya yang Menyakitkan

Loading...
Loading...
Masyarakat bertanya-tanya, apa yang dirasakan warga yang dinyatakan positif Corona. Apa saja yang mereka alami selama perawatan, dan bagaimana kondisinya setelah dinyatakan sembuh? Lombok Post berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan salah satu warga yang positif Korona asal Desa Bengkel Hj Nikmah.
Perayaan Lebaran Topat kemarin dirasakan berbeda oleh Hj Nikmah, warga Dusun Bengkel Selatan Mekar Desa Bengkel. Perempuan 62 tahun ini hanya terbaring di tempat tidurnya kala wartawan Lombok Post menyambanginya Minggu (31/5) lalu.
Warga yang pernah dinyatakan positif Covid-19 tersebut buru-buru menjelaskan jika ia terbaring bukan karena sakit akibat Korona. Melainkan ia jatuh dan terkilir saat beraktivitas di rumahnya.
“Saya jatuh, tetapi tidak berani lagi datang berobat ke rumah sakit. Karena khawatir dinyatakan positif Korona lagi,” akunya kepada Lombok Post.
Baginya, dinyatakan positif Korona adalah pengalaman pahit yang sangat menyakitkan. Bukan karena sakit yang dialami oleh organ tubuhnya, melainkan sakit karena dampak sosial yang dirasakan justru setelah dinyatakan sembuh.
“Selama dinyatakan positif saya tidak pernah demam, saya tidak pernah sesak dan batuk itu saya herankan. Saya tidak merasakan ada bedanya positif Korona dan tidak,” ungkapnya kepada Lombok Post.
Bahkan sampai di rumah, ia mengaku tidak merasakan perbedaan sama sekali. Hanya saja, ia memang jauh sebelum dinyatakan positif Korona memiliki penyakit sertaan yakni bronkhitis. Namun sejauh ini, ia merasa sehat.
Selama dirawat di rumah sakit, untuk penyakit Korona ia mengaku diberikan obat antivirus sejenis kapsul yang diminum dua kali sehari. Selama perawatan, ia didampingi anaknya Murni Ernawati.
“Saya yang merawat ibu saya seperti pasien biasa. Saya yang mandikan kasih makan, bersentuhan langsung dan yang lainnya,” tutur Ernawati mendampingi ibunya.
Namun Ernawati mengaku dirinya dinyatakan negatif. Tidak pernah ada gejala apapun.
Ernawati menuturkan, selama perawatan ibunya, kondisinya dikatakannya cukup membaik. Tidak ada dipasangi alat khusus atau yang lain. Hingga ia sembuh dan pulang dengan tenang. “Tapi justru ketika saya pulang, saya merasakan dampaknya. Orang takut ketemu saya,” ungkap Hj Nikmah.
Ia merasa didiskriminasi dan diperlakukan tidak baik. Bahkan ia beberapa kali diterpa isu miring hingga fitnah. Orang-orang menjauhi dan mengucilkannya. “Saya diisukan sempat meninggal sampai orang bawa beras ke rumah saya melayat. Katanya rumah saya mau dibakar dan jualan saya mau dibuang,” bebernya sambil menangis.
Ia merasa sangat menderita dengan perlakukan masyarakat. Hj Nikmah dan keluarganya diperlakukan seperti orang hina. “Kalau Korona ini saya rasakan tidak ada bedanya. Fitnahnya yang menyakitkan,” ungkapnya.
Sempat Dilarang Tarawih, Keluarga dan Kadus Ikut Dikucilkan
Sejak Bulan Ramadan lalu, Hj Nikmah hanya berdiam di dalam kamarnya. Berukuran 3 x 3 meter. Di sana, ia hanya terbaring di atas tempat tidur. “Nggak berani keluar rumah saya. Karena perlakuan masyarakat ke saya itu yang nggak saya tahan,” ucapnya.
Tak pernah ia bayangkan, dampak penyakit Korona akan seperti yang ia rasakan. Stigma negatif masyarakat seolah membuat penyakit ini seperti aib. Sehingga masyarakat yang dinyatakan positif namun telah sembuh, diperlakukan hina.
“Saya difitnah meninggal, rumah saya katanya mau dibakar, keluarga saya mau diusir. Orang-orang kalau lewat depan rumah saya sekarang tutup mulut, padahal dulu selalu memberi salam,” tuturnya.
Ia mencoba tegar menghadapi semua perlakuan tersebut. Ia berpikir hal itu akan terjadi hanya sebentar saja. Namun, dari hari ke hari, perlakuan diskriminatif masyarakat kepadanya semakin menjadi-jadi.
“Yang nggak saya tahan, saya nggak dikasih ikut tarawih di Masjid. Orang takut kalau saya tarawih mereka akan tertular virus Korona,” katanya sambil menitikkan air mata.
Padahal, ia sudah jelas dinyatakan sembuh oleh pihak rumah sakit. Ia boleh dipulangkan dan bisa beraktivitas seperti sediakala. Sayang, stigma negatif masyarakat sudah terlanjur melekat. “Kalau Pak Kadus tetap mengizinkan saya ikut tarawih, tapi warga sini yang nggak ngasih,” sesalnya.
Akibatnya, ia pun lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk beribadah. Ia dan keluarganya tak banyak keluar rumah setelah dikucilkan masyarakat. Terlebih semenjak Hj Nikmah tak bisa berdiri akibat terjatuh saat sedang beraktivitas di rumahnya.
“Saya keseleo dan sarafnya katanya kejepit. Saya nggak berani berobat ke rumah sakit, takut divonis Korona lagi. Makanya saya berobat ke klinik,” akunya.
Kepala Dusun Bengkel Selatan Mekar Ahmadi membenarkan perlakuan diskriminatif yang didapati Hj Nikmah dan keluarganya. Ia juga heran masyarakat begitu takut tertular virus Korona oleh Hj Nikmah yang jelas-jelas dinyatakan sembuh dari Korona.
“Bahkan bukan beliau saja yang dijauhi, warga kami lainnya dari dusun ini juga mendapat perlakuan sama oleh masyarakat dusun lain di desa kami sendiri,” beber Adi, sapaannya.
Masyarakat Dusun Bengkel Mekar Selatan tak diizinkan datang ke dusun lain untuk keperluan apapun. Bahkan ketika ada acara syukuran pembangunan rumah milik warga di salah satu dusun yang ada di Desa Bengkel, Adi bersama warga yang diundang ke acara itu tak diizinkan datang.
“Kami dilarang mendatangi dusun lain. Pasien yang dinyatakan positif ini memang yang berat sanksi sosialnya, bukan hanya buat pasien, tetapi keluarganya, tetangganya, bahkan saya sebagai kepala dusunnya,” sesal Adi. (HAMDANI WATHONI/Lombok Post)
Loading...

0 Response to "Curhat Pasien Corona yang Sembuh : Penyakitnya Tak Terasa, Fitnahnya yang Menyakitkan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel